Judul: (Alice) Neco z Alenky | Asal: Czechoslovakia | Sutradara: Jan Švankmajer | Penulis: Jan Švankmajer | Produksi: Channel Four Film 1988 | Durasi: 1.4 jam | wrtzkwood points: 9.0
Svankmajer, sutradara yang belum pernah kalian dengar, mencoba membawa penonton ke dalam titik terdalam dan pekatnya pikiran yang pernah ada dalam pikiran anak-anak, yang dalam film ini tentu saja diwakilkan oleh karakter novel Lewis Caroll yang tak kalah surealnya yaitu Alice in the Wonderland.
Saya sempat belajar sastra di universitas dan saya pernah membaca Lewis Carroll. Ia seorang jenius, satu hal yang membedakannya dengan Charles Dicken atau Hermann Melville ialah, Caroll menulis Alice ketika ia sedang high & dry, paling tidak itu prediksi saya.
Ya, jika yang akan kalian dapat di Alice yang biasa ialah surealisme kocak dan manis, Svankmajer men-juxtapose konsep cerita imut Wonderland dengan sentuhan kegelapan yang hampir sadistic.
Perlu diketahui Alice (Kristýna Kohoutová) ialah salah satunya karakter manusia di sini, a living little girl. Yang dalam perjalanannya oleh Svankmejer ditransformasikan menjadi boneka blonde di Wonderland yang benar-benar aneh.
Pertama ia melihat White Rabbit yang membelah dadanya sendiri untuk sekedar mengambil jam dan melihat keterlambatannya, lalu tikus pelaut yang memasang patok kepalanya dan membuat api unggun karena mengiranya dengan pulau.
Tapi kesemuanya hanya ditanggapi oleh dinginnya ekspresi karakter Alice, dan memang dimaksudkan demikian oleh Svankmajer. Ini menambah nuansa pekat, brutal dan sempitnya Wonderland dalam film ini, kontradiktif dengan representasi Alice in Wonderland yang biasa ditampilkan sebagai drama atau film-film animasi.
Satu hal yang sulit dinilai ialah karakter lainnya penghuni Wonderland. Mereka terbuat dari boneka, digerakkan dengan teknik stop-motion yang pastinya tak bakal ekspresif. Satu-satunya sumber simpatisme penonton ialah motif dan gesture yang ditunjukkan oleh tokoh bersangkutan.
No
Well, seperti sub-judul di atas Alice tak menyematkan satu scoring pun. Dan jika kalian menikmati Coen Brother’s No Country For Oldmen,
Svankmajer’s Alice menawarkan hal yang sama, hanya jauh lebih kejam dan
brutal, terimakasih perwatakan yang dipamerkan tokoh utama Alice.
Sepanjang film yang ditangkap kuping penonton ialah sfx sederhana untuk mengisi Alice yang terjatuh atau terbentur tembok, benda-benda bertabrakan lainnya dan narasi dari bibir misterius yang terus membicarakan alur cerita, seperti yang didapatkan pada The Warriors (1979).
Satu hal lagi, layaknya film bisu dengan dubbingan sound-effect sederhana, Alice pun tak mempunyai skrip apapun untuk dibicarakan.
Bagi saya sendiri film ini harus ditonton, alur meski tak rata dan sedikit membingungkan tapi tereksekusi dengan baik dan kalian akan disuguhi karakterisasi unik (sangat membantu jika membaca novelnya terlebih dahulu) dan pemandangan macabre yang miris dalam dunia imajinasi rumah balok mainan dan kerangka-kerangka tikus.
Svankmajer sendiri tak bisa ditentukan sikapnya membuat film ini untuk anak-anak atau dewasa. Lagipula, ia tak menyebut film ini based on novel namun inspired by the novel. Terakhir, ini membuat Alice milik Tim Burton seperti franchise Barbie jika tak didukung oleh Johnny Depp.
Dark, Bizarrely Re-featured Wonderland
Ada sebuah kuotasi berbilang, “kids, are they even people?” dan jawabannya terserah kalian dalam menentukan perpektif masing-masing. People love kids, people hate kids. Jelasnya, dalam film ini nama Alice yang terdengar begitu lugu dan manis jika diucapkan tak akan sama lagi.Svankmajer, sutradara yang belum pernah kalian dengar, mencoba membawa penonton ke dalam titik terdalam dan pekatnya pikiran yang pernah ada dalam pikiran anak-anak, yang dalam film ini tentu saja diwakilkan oleh karakter novel Lewis Caroll yang tak kalah surealnya yaitu Alice in the Wonderland.
Saya sempat belajar sastra di universitas dan saya pernah membaca Lewis Carroll. Ia seorang jenius, satu hal yang membedakannya dengan Charles Dicken atau Hermann Melville ialah, Caroll menulis Alice ketika ia sedang high & dry, paling tidak itu prediksi saya.
Ya, jika yang akan kalian dapat di Alice yang biasa ialah surealisme kocak dan manis, Svankmajer men-juxtapose konsep cerita imut Wonderland dengan sentuhan kegelapan yang hampir sadistic.
Cold, Cold Alice
Apa artinya surealisme? Something so fucked up, people can’t understand then stupidly says wow. Satu hal yang perlu diyakini ialah keinovatifannya. Surealist ialah orang yang inovatif, paling tidak untuk membodohi orang lain. Di film ini Svankmajer punya konsep Wonderland-nya sendiri yang penuh kotoran, boneka binatang yang menyeramkan, kaos kaki dan daging mentah. Kesemuanya dipadukan dengan karakter animasi berteknik stop-motion—yang lebih suka saya sebut dengan 3d tradisional—mulai dari White Rabbit hingga Caterpillar dan sisha-nya. Plus kesemuanya, sekali lagi ditubrukkan dengan Alice.Perlu diketahui Alice (Kristýna Kohoutová) ialah salah satunya karakter manusia di sini, a living little girl. Yang dalam perjalanannya oleh Svankmejer ditransformasikan menjadi boneka blonde di Wonderland yang benar-benar aneh.
Pertama ia melihat White Rabbit yang membelah dadanya sendiri untuk sekedar mengambil jam dan melihat keterlambatannya, lalu tikus pelaut yang memasang patok kepalanya dan membuat api unggun karena mengiranya dengan pulau.
Tapi kesemuanya hanya ditanggapi oleh dinginnya ekspresi karakter Alice, dan memang dimaksudkan demikian oleh Svankmajer. Ini menambah nuansa pekat, brutal dan sempitnya Wonderland dalam film ini, kontradiktif dengan representasi Alice in Wonderland yang biasa ditampilkan sebagai drama atau film-film animasi.
Satu hal yang sulit dinilai ialah karakter lainnya penghuni Wonderland. Mereka terbuat dari boneka, digerakkan dengan teknik stop-motion yang pastinya tak bakal ekspresif. Satu-satunya sumber simpatisme penonton ialah motif dan gesture yang ditunjukkan oleh tokoh bersangkutan.
No Country Music For Old Men
Well, seperti sub-judul di atas Alice tak menyematkan satu scoring pun. Dan jika kalian menikmati Coen Brother’s No Country For Oldmen,
Svankmajer’s Alice menawarkan hal yang sama, hanya jauh lebih kejam dan
brutal, terimakasih perwatakan yang dipamerkan tokoh utama Alice.Sepanjang film yang ditangkap kuping penonton ialah sfx sederhana untuk mengisi Alice yang terjatuh atau terbentur tembok, benda-benda bertabrakan lainnya dan narasi dari bibir misterius yang terus membicarakan alur cerita, seperti yang didapatkan pada The Warriors (1979).
Satu hal lagi, layaknya film bisu dengan dubbingan sound-effect sederhana, Alice pun tak mempunyai skrip apapun untuk dibicarakan.
Bagi saya sendiri film ini harus ditonton, alur meski tak rata dan sedikit membingungkan tapi tereksekusi dengan baik dan kalian akan disuguhi karakterisasi unik (sangat membantu jika membaca novelnya terlebih dahulu) dan pemandangan macabre yang miris dalam dunia imajinasi rumah balok mainan dan kerangka-kerangka tikus.
Svankmajer sendiri tak bisa ditentukan sikapnya membuat film ini untuk anak-anak atau dewasa. Lagipula, ia tak menyebut film ini based on novel namun inspired by the novel. Terakhir, ini membuat Alice milik Tim Burton seperti franchise Barbie jika tak didukung oleh Johnny Depp.
0 comments:
Post a Comment