kurang lengkap rasanya kalau saya tidak berbagi film-film Indonesia favorit yang saya tonton di tahun 2014. Tapi karena saya hanya menonton sedikit film Indonesia di tahun 2014 (lebih tepatnya hanya sepuluh film, ha-ha) saya akan berbagi pada anda apa saja film Indonesia dari yang paling saya sukai sampai yang membuat saya kesal nontonnya, he-he. Mau tahu apa saja film-film Indonesia yang saya sukai dan saya kurang sukai? Here’s my pick!
The Raid 2: Berandal
Tidak
ada yang bisa menyangkal, sekuel dari The Raid ini adalah sekuel yang
paling ditunggu-tunggu dan paling sesuai ekspektasi para penggemarnya.
Gareth Evans selaku sutradara memanfaatkan betul keuntungan film The
Raid untuk memperbesar skup film actionnya di The Raid 2: Berandal.
Lebih banyak intrik dan lebih banyak adegan laga, inilah satu-satunya
film terbaik Indonesia yang saya tonton lebih dari satu kali.
Siapa
sangka rumah makan nasi Padang bisa jadi materi yang oke untuk sebuah
tontonan. Tabula Rasa membuktikan hal tersebut, lewat kesederhanaan
penceritaannya, kita sebagai penonton bukan hanya diajak untuk lebih
mencintai masakan dalam negeri tapi juga untuk lebih menghargai bahwa
keragaman yang ada di Indonesia itu adalah satu hal yang harus selalu
kita junjung tinggi. Tidak aneh Tabula Rasa menggondol banyak Piala
Citra tahun kemarin, well deserved!
Sekuel
dari Jagal alias Act of Killing. Lebih sederhana dengan skup yang lebih
kecil tapi menimbulkan efek yang lebih ‘pedih’ bagi saya pribadi. Kali
ini sang sineas mengajak kita untuk melihat kasus pembantaian PKI dari
sudut pandang korban. Lewat Adi, yang kakaknya dulu menjadi korban
pembantaian di Sungai Ular Deli Serdang, saya melihat kengerian yang
terpancar dari setiap wawancara yang terjadi antara Adi dan para pelaku
yang diantaranya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, sungguh
menyakitkan sekaligus menyedihkan.
Sebuah
film yang memperlihatkan sisi glamor dan sisi humanis ibu kota
Indonesia di malam hari, tersaji cukup sempurna lewat representasi para
karakternya yang sedang berduka, sedang nostalgia sampai yang ingin
eksis seperti para sosialita. At least Selamat Pagi, Malam cukup
memberikan nuansa yang berbeda ketika saya menonton film ini di bioskop,
well done.
Film
komedi Anggy Umbara yang mempersatukan para seniman comic atau para
stand up comedian ke dalam satu film heist epik yang tidak bisa dianggap
enteng. Walau didominasi oleh buah dada Nikita Mirzani yang terlalu
besar dan membuat layar jadi penuh sesak, at least Comic 8 memberikan
hiburan yang cukup oke dan tidak mubazir. Jadi penasaran dengan
sekuelnya, semoga masih tetap menghibur, we’ll see.
Dokumenter
Daniel Ziv tentang tiga orang pengamen di Jakarta dan pandangan mereka
tentang kehidupan budaya sosial politik di Indonesia lewat obrolan
sederhana dan jujur. Sebuah dokumenter yang cukup membuka mata dan cukup
orisinil, walau beberapa bagian di dalam filmnya terasa seperti
‘dibuat-buat’, setidaknya Jalanan memberikan perspektif baru bagi kita
yang sudah terbiasa melihat pengamen yang mungkin tidak hanya ada di
Jakarta tapi juga di seluruh Indonesia, apa yang mereka lakukan dan
berapa persen dari mereka yang sebenarnya mempunyai itikad baik dalam
menjalani profesinya tersebut.
Film
terbaru garapan The Mo Brothers ini terbilang film thriller Indonesia
yang paling niat, apalagi kerjasamanya dengan aktor Jepang makin
menambah ‘pekat’ warna darah merah yang tersaji di film Killers.
Sayangnya beberapa bagian dari film ini terasa draggy dan endingnya
terlalu ‘maksa’ bagi saya pribadi. Tidak bisa dikatakan film yang
terbaik tapi not bad untuk effort The Mo Brothers dalam menyajikan
cerita tentang dua orang beda negara yang terkoneksi karena pernah
membunuh.
Sebagai
film Indonesia termahal tahun 2014, Miles Film memang tidak main-main
dalam menggarap Pendekar Tongkat Emas. Apalagi Pendekar Tongkat Emas
ingin mengembalikan kejayaan genre silat kolosal ala film-film Indonesia
jaman dulu. Tapi sayang, sebagai film action yang epik, Pendekar
Tongkat Emas tidak sesuai ekspektasi saya. Ditambah porsi aksinya yang
terbilang tidak sebanyak porsi dramanya yang terasa draggy dan alur
filmnya yang kurang enak diikuti. Well, salah satu film yang kurang
sesuai harapan saya, so sorry.
Tren
lari di Indonesia memang sedang menjamur, tidak heran kalau film Mari
Lari menjadi salah satu film yang cukup banyak dibicarakan saat itu.
Sayangnya, ide yang fresh tidak dibarengi dengan eksekusi filmnya yang
seharusnya lebih niat. Apalagi melihat product placement-nya yang
menyilaukan mata, setidaknya hubungan ayah anak di film ini menjadi
nilai tambah yang membuat Mari Lari tetap bisa diperhitungkan sebagai
film Indonesia yang lumayan. Not bad.
Terakhir
adalah film Indonesia paling ambisius entah paling ribut yang pernah
saya tonton. Datang dari orang-orang yang pernah membuat 5 cm dan juga
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, film adaptasi novel Dee Lestari ini
hadir sebagai film yang ‘meledak-ledak’ tapi tanpa isi. Dengan durasinya
yang panjang, dialognya yang sangat ‘buku’ sekali sampai subtitle
bahasa Inggris-nya yang turut membuat layar bisokop makin penuh dan mata
saya makin lelah, Supernova ini benar-benar jauh dari ekspektasi saya
ketika menonton trailernya yang terlihat epik itu. Visual boleh
memanjakan mata, tapi sayang secara keseluruhan, Supernova adalah film
yang kalau lama-lama dipikirkan bisa membuat saya kesal, ha-ha.
0 comments:
Post a Comment