Boleh saja dibilang dunia perfilman mencatat seri Harry Potter sebagai film yang mempertahankan para cast-nya
selama sepuluh tahun untuk bermain di tujuh seri film mulai dari saat
mereka masih sangat muda hingga tumbuh menjadi remaja. Namun apa jadinya
jika hal yang sama diterapkan hanya dalam satu film? Ditambah dengan rentang waktu yang sedikit lebih lama, 12 tahun? Get ready, Richard Linklater got the answer!
Linklater memulai cerita saat Mason Junior (Ellar Coltrane) masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Sebagai korban keluarga broken home, Mason
hidup bersama ibu (Patricia Arquette) dan kakak perempuannya, Samantha
(Lorelei Linklater) tanpa kehadiran ayah (Ethan Hawke) di rumah. Akan
tetapi, mereka bukan lantas kehilangan sosok ayah begitu saja karena
secara rutin, paling tidak seminggu sekali, sang ayah akan menemani dua
bersaudara ini bermain sebagai wujud tanggung jawab dan tentunya
memantau tumbuh kembang dua buah hatinya selain sang Ibu.
Memproduksi sebuah film dalam jangka
waktu yang sangat lama mungkin akan menjadi hal yang begitu menarik
bukan hanya untuk sutradara, pemain, dan kru saja melainkan juga para audience sebagai sasaran utama film dibuat. Dan benar saja, label “A Moving 12 Year Epic” atau “12 Year in the Making” akhirnya membuat saya (dan saya yakin banyak orang) akan menaruh perhatian dan harapan lebih terhadap film ini. Meningkatkan rasa penasaran dan ekspektasi tentang hal apa saja kah yang akan dituangkan ke dalam film, atau simply timbul pertanyaan “Mau dibuat seperti apa sih film tersebut hingga harus menghabiskan waktu lebih dari satu dekade pembuatan?”
Film ini menunjukkan secara gamblang
bagaimana proses pendewasaan anak selama 12 tahun, dari umur 5 hingga 18
tahun lengkap dengan semua hal yang dialaminya. Sebut saja bermain
bersama teman sebaya sebelah rumah, bagaimana mereka mengahadapi
perpisahan karena harus pindah rumah, dongeng sebelum tidur, bullying, cinta monyet hingga kisah cinta SMA, first kiss (even sex), tentang
pesta ulang tahun , kenakalan remaja sebagai proses alamiah pencarian
jati diri, hobby dan kegiatan ekstrakurikuler, serta masih banyak lagi.
Sebuah paket lengkap parenting yang akan membuat para orang tua
belajar bagaimana mendidik anak dari tingkah laku sang anak itu
sendiri, atau secara sederhana membangkitkan memori kita pada masa
kecil.
Boyhood menjelma seolah mesin
waktu yang membawa kita kembali mengarungi masa lalu. Mengajak
berjalan-jalan mengenang dan menebak-nebak di tahun berapa kita berada
saat scene itu berjalan. Sebagai penanda waktu, ada lagu-lagu popoler di jamannya sebagai backsound atau sekedar memainkan music video-nya di smartphone, mulai dari Coldplay’s Yellow, Britney Spears’ Oops…I did it Again, hingga kolaborasi epic Lady Gaga dan Beyoncé’s Telephone. Selain itu, momen-momen yang terjadi selama 12 tahun ke belakang seperti peluncuran buku Harry Potter and the Half-Blood Prince, hingga Pemilu Presiden era Barrack Obama turut menambah riuh timeline film ini.
Yes, I love how this film represents the American culture through a Family.
Tentang bagaimana membesarkan anak laki-laki dan perempuan di
lingkungan keluarga Amerika, bagaimana mereka tumbuh dalam pergaulan
negara adi daya secara sangat detail. Termasuk pergerakan
masalah yang berbanding lurus dengan tingkat kedewasaan, dari yang kita
nilai sangat sepele hingga yang cukup menguras pikiran untuk usia
remaja. Dan tentunya ada perasaan bahagia tatkala menyaksikan adegan
demi adegan yang disuguhkan Boyhood. Juga perasaan tak sabar
perihal apa lagi yang akan terjadi pada Mason Junior dan keluarganya
saat Ia tumbuh menjadi lebih besar, kemudian lebih besar lagi, lagi, dan
lagi..
0 comments:
Post a Comment