Jujur, sebagai generasi 90an yang baik banyak harapan tertumpu pada Doraemon Stand By Me. Barangkali bisa nostalgia gila mengingat masa-masa celana dalam belum menjadi barang penting di kehidupan. Dan memang mayoritas penikmat film ini adalah mereka yang usianya 20 tahun ke atas, diselingi beberapa anak kecil.
Ada tiga kondisi saat saya mau repot-repot menulis review: (1) filmnya bagus banget, (2) kerjaan dari kantor, dan (3) filmnya sangat mengecewakan. Di sini Stand By Me kebagian kondisi ketiga. Maaf Mbah Fujio.
Mengambang

Dibuat untuk anak-anak? Masa sih? Kok inti ceritanya di sini cinta-cintaan? Apa iya kisah Nobita yang berambisi menikahi Shizuka itu konsumsi bocah yang belum paham romantisme purnama yang berbeda? Lagi pula ada beberapa adegan pelukan dan segala macam romantisme yang buat saya hanya cocok dikonsumsi usia 17+. Sejenak saya merasa tidak ada bedanya film ini dengan sinetron lokal. Mungkin mereka lelah.
Jiplakan Mentah dari Manga
Tapi menerjemahkannya mentah-mentah ke format animasi 3D? Kesan yang muncul malah aneh dan tidak menarik. Untuk animasi 3D, saya terbiasa menonton film produksi Disney, Dreamworks, dan Pixar. Beberapa yang humornya segar dan menggelitik antara lain Wreck It Ralph, Despicable Me, dan Toy Story. Yang cukup mirip dengan gaya lelucon Stand By Me menurut saya sih Despicable Me, tapi eksekusinya beda jauh.
Minions juga kerap bertingkah konyol dan melucu ala slapstick, tapi tidak menimbulkan reaksi, “Apaan sih ini?”. Beda dengan kelakuan Nobita dan kawan-kawan yang benar-benar terjemahan mutlak dari manga. Saya pikir formula di manga tidak seharusnya dipakai mentah-mentah di format animasi 3D karena yang ada malah memicu reaksi, “Heleeeeeh….”.
Parameter saya hanya atmosfer di dalam teater. Saat menonton Despicable Me, tawa meledak. Stand By Me hanya bisa melakukan tak sampai 50 persennya.
Sedih? Nggak juga sih…
Translasi yang Kacau
Entah apa isi kepala si distributor yang menyuguhkan dua terjemahan: Inggris dan Indonesia. Faedahnya apa? Bikin penuh layar sih iya. Saya lebih banyak fokus dengan terjemahan Inggrisnya karena posisinya lebih ke atas, dan lagi terjemahan Indonesianya kaku menjurus ngawur.
Ada satu adegan saat Nobita dihukum berdiri di luar kelas. Suneo menggodanya tapi Giant datang dan berkata, “Give him a break Suneo,”. Maksudnya ya kira-kira, “Udah biarin aja dia,” tapi tahukah kalian itu diterjemahkan menjadi, “Beri dia istirahat Suneo,”. Apaaaaaa? Bercanda kan? Dan sejak kapan baka berarti brengsek alih-alih bodoh?
Mau yang lebih lagi? Di versi Inggris Giant diterjemahkan jadi Big G, lalu Jaiko jadi Little G. Mungkin asalnya dari ko yang artinya kecil. Nobita jadi Noby, Suneo jadi Sneech, Dorayaki berubah jadi Yummy Buns, Pak Guru (sensei) jadi Mr. S, dan ini yang paling spektakuler. Ada tokoh bernama Ace. Tebak siapa? Dekisugi pemirsa! Gimme a break! Beri saya rem!
Asal tahu, di versi barat memang itulah nama-nama karakter tersebut. Tapi tentu saja di Indonesia tidak banyak yang kenal, jadi alangkah bijaksananya jika terjemahan Inggris itu ditiadakan saja.
Untungnya si penerjemah Indonesia paham. Dekisugi tetap Dekisugi, dorayaki tetap dorayaki, dan Pak Guru tidak berubah jadi Mr. S. Tapi secara keseluruhan terjemahan Indonesia kurang nyaman disantap, apalagi buat yang terbiasa menonton film Hollywood yang terjemahannya luwes dan enak.
Terpujilah mereka yang paham bahasa Jepang. Kerja keras kalian tidak sia-sia kawan.
Kesimpulan

oleh :
Shesar_Andri, 11 Desember 2014
0 comments:
Post a Comment