MOVIN REVIEW : BOMBE' (2014)


Setelah menyaksikan film Bombe’ ini yang katanya banyak menyampaikan pesan-pesan sosial, saya juga ingin menyampaikan pesan berupa catatan-catatan penting selama menyaksikan Bombe’ yang sebenarnya mengganggu saya. Bukan berarti saya tidak menyukai alur ceritanya. Tetapi semoga saja pesan ini bisa menjadi bahan masukan agar industri film di Makassar makin bergairah dan untuk membuat film yang “original made in Makassar” lebih banyak lagi, tidak seperti halnya dengan logo kota Makassar tahun ini yang diadopsi dari logo kota New York.

1. Alur Cerita

Awalnya saya bingung film ini sebenarnya untuk dewasa atau untuk anak. Poster film ini sebenarnya bisa disaksikan untuk anak-anak, tetapi tercatat ada 4 atau 5 kali adegan perkelahian antar anak-anak. Bahkan di 5 menit awal saja sudah ada 1 adegan perkelahian. Bukankah kita sekarang berlomba-lomba menghilangkan unsur kekerasan dalan tontonan anak kita?  Nilai pesan sosial seperti “tanpa teman, kita bukan siapa-siapa” atau pun “jangan suka baku bombe’ ” memang dapat terbaca dari keseluruhan film ini, walau hanya dengan membaca judulnya pun sudah bisa tertebak endingnya.

 Namun ada aspek lain yang saya kagumi  dari film ini. Film Bombe’ banyak menggunakan Bahasa Indonesia dengan dialek Makassar, sehingga belum tentu semua yang menonton adalah orang Makassar. Maka dari itu, disiapkanlah terjemahan dialog dalam Bahasa Indonesia, yang berarti dialog film ini dapat dimengerti bukan untuk orang Makassar saja.

2. Teknik Pengambilan Gambar

Untuk urusan ini dari awal film sampai akhir banyak menganggu. Kualitas penyatuan adegan terlihat kasar yang akhirnya membuat 2/3 film tampak patah-patah jika dicermati lebih detail, terutama di adegan yang memakai kamera yang bergerak.

Dugaan saya yang lainnya adalah beberapa adegan dalam film ini memakai drone pada saat pengambilan gambar dari atas. Begitu juga penggabungan gambar masih terlihat kasar dibeberapa adegan. Selain itu, saya berharap adanya pemakaian kamera high definition agar gambarnya lebih bagus lagi.

3. Pemeran

Untuk pemeran Kayla dan Nisa aktingnya lumayan, sisanya masih sering melihat kamera. Memang susah mengarahkan anak-anak. Disitulah gunanya berkolaborasi terutama dari guru seni peran. Semoga pengajar kelas seni peran sempat diikutkan. Bahkan Pak Aco’ pun seharusnya bisa lebih tenang di hadapan kamera. Bukankah sudah sering berhadapan dengan ribuan orang? Oh iya, sebisa mungkin jika memakai peran pengganti perlu diperhatikan agar penggantinya mirip dengan pemerannya walaupun dari belakang.

4. Sampah

Karena film ini didukung oleh pemerintah kota, maka saya harap jika sedang dalam proses pengambilan gambar di lokasi aslinya sampah-sampah dihilangkan saja dulu. Kalau memang untuk dekorasi kota, sebaiknya dipinggirkan lalu dikembalikan jika pengambilan sudah selesai.


Terlepas dari beberapa catatan di atas, film ini merupakan salah satu langkah baik dalam mewujudkan Makassar sebagai kota yang penuh kreativitas.

Catatan-catatan ini pun bisa menjadi harapan  saya untuk para pelaku kreatif di Makassar, agar lebih sering belajar peka terhadap keadaan sekitar, apa yang sebetulnya diinginkan masyarakat untuk ditonton terutama anak-anak. Karena belum tentu yang kita anggap bagus ditonton, juga bagus untuk ditonton oleh anak-anak kita.
Share on Google Plus

About Moviners

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

MOVIN SHORT MOVIES

MOVIN UPCOMING