J-Horror Best Scary Moments



Ketika J-Horror identik dengan rambut panjang rebonding dan jalan merangkak, penonton sejenak lupa bahwa kata ‘horror’ dan ‘menyeramkan’ juga bisa digali dari beberapa film yang tak hanya secara sentral menjual cerita rumah berhantu atau teror wanita berbaju putih. Ketika sebuah film menjabarkan drama berdarah-darah dengan eksekusi hitam, kata ‘menyeramkan’ juga pantas disematkan. Tentu untuk menulis 7 best scary moment sebenarnya adalah pekerjaan yang sulit karena masih banyak film-film Jepang yang belum saya tonton, namun marilah saya bagi apa saja 7 momen paling menyeramkan untuk kategori J-Horror menurut movin. Sebagai catatan kecil, urutan tidak menentukan ukuran menyeramkan momen film tersebut.


Suicide Club (Sion Sono, 2001)

Menonton dan memikirkan tentang Suicide Club mengingatkan saya pada kasus seorang idola Jepang yang meninggal bunuh diri lompat dari gedung bernama Yukiko Okada pada tahun 1986. Umur Yukiko waktu itu baru 18 tahun, cantik dan jelita, dengan karir yang sedang mekar-mekarnya. Sebagai seorang artis dengan banyak fans, sangat memilukan ketika ia malah memilih untuk mengakhiri hidupnya. Namun yang lebih tragis lagi adalah efek setelah Yukiko bunuh diri. Ditemukan banyak kasus bunuh diri serupa dari kaum muda, memilih cara melompat dari atap gedung atau rumahnya. Alasan-alasannya sepele dari mulai patah hati, masalah dengan orangtua bahkan sampai hanya karena merasa terbebani menjadi ketua kelas. Gejala ikut-ikutan bunuh diri ini pun diberi nama sindrom Yukiko.

Setelah menonton Suicide Club, saya merasakan adanya koneksi yang mirip dengan apa yang terjadi pada kasus Yukiko. Mungkin dunia yang berada dalam film Suicide Club jauh lebih kacau dan sudah seperti gejala-gejala kiamat, namun kaitan bahwa pop culture membawa pengaruh pada masyarakat terutama kaum muda sampai ke tingkat yang paling parah membuat dunia Sion Sono di film ini bisa jadi bukanlah sekedar khayalan ekstrem belaka. Idola remaja sebagai penggerak terjadinya bunuh diri massal? Ah mungkin saja kok. Di jaman yang sudah sableng dimana seseorang mudah termotivasi dan mudah juga terprovokasi.

Scary moment : Sebenarnya banyak adegan-adegan ‘gila’ dalam film ini. Namun kita semua pasti sudah sepakat bahwa opening 54 siswa terjun bebas menabrakkan diri pada rel kereta api itu adalah sebuah momen yang brutal, mengerikan, sadis dan tak terlupakan.



Ju on The Curse (Takashi Shimizu, 2000)

Ketimbang Sadako yang menurut saya kemunculannya tak menyeramkan, saya harus mengakui bahwa duet anak dan ibu Kayako-Toshio lah yang sukses membuat saya tak sadar meremas bantal saat melihat penampakan mereka. Yang menarik adalah versi awal alias direct to video nya yaitu Ju On The Curse malah jauh lebih menyeramkan ketimbang versi teatrikalnya, Ju On The Grudge.

Ketika menggunakan format kamera yang biasa digunakan untuk film dan drama TV (disebut juga V-Cinema), suasana creepy malah jauh lebih intim ditangkap ketimbang ketika Takashi Shimizu menggunakan kamera untuk format layar lebar. Suasana rumah misterius, keadaan sepi senyap, sampai kamar gelap dan muram rasanya benar-benar menjadi pondasi panggung horor yang utuh.

Yang membuat Ju On The Curse menjadi film horor yang penting juga berasal dari skenario dan gaya penceritaan yang dipilih Takashi Shimizu. Menceritakan tentang teror rumah berhantu dan kutukan yang terus menular, Takashi membagi keseluruhan film dalam gaya segmen per segmen yang menarik. Tidak hanya itu, Ju On The Curse juga menyisipkan sebuah kejutan yang brutal dan sadis pada formula cerita Kayako dan para korbannya.

Scary moment : Ada suara berisik dari atas tangga….. Suara tenggorokan yang aneh…. lalu sesosok tubuh berdarah-darah pun mulai merangkak turun……



Audition (Takashi Miike, 1999)

Saya masih ingat efek setelah menonton Audition : saya malas berjalan dan kaki saya terasa kaku untuk digerakkan. Begitulah kengiluan yang mengiris-ngiris yang tetap bertahan di ingatan seusai menonton film arahan Takashi Miike ini. Mungkin awalnya Audition terlihat sebagai drama baik-baik saja tentang cerita seorang duda tua yang mulai mencari cinta baru dan menemukan ketertarikan tersebut pada seorang gadis muda yang lembut dan terlihat ‘normal’ bernama Asami. Bahkan aroma romantis sempat hadir di layar sebelum akhirnya semakin tensi film bertambah, roda film mulai menanjak naik dengan suasana yang semakin muram dan mengkhawatirkan. Kita sadar betul ada yang ganjil dan tersembunyi dan film ini serupa bom waktu yang hanya menunggu sampai tepatnya kita akan ditempa sebuah mimpi buruk tanpa sempat berdalih.

Scary moment : Setelah membius, Asami dengan anggun dan pelan mengamputasi kaki kiri Shigeharu. Sambil dengan imut berkata “kiri…. kiri… kiri….” disaat bersamaan membuat penonton nyaris terhenyak. Mungkin beberapa mengumpat betapa gila dan horornya adegan ini. Sakit dan mengganggu.


Rinne / Reincarnation (Takashi Shimizu, 2005)

Ya, ini tentang audisi lagi. Dan cerita audisi yang dihadirkan Takashi Shimizu disini adalah tentang para cast yang harus memerankan tokoh-tokoh yang memang benar meninggal karena diangkat dari peristiwa pembunuhan nyata di sebuah hotel 35 tahun lalu. Takashi Shimizu sekali lagi membuktikan kepiawaiannya memprakarsai horor dengan ikut menulis skenarionya (hal yang sama yang ia lakukan pada Ju On) bersama Masaki Adachi, yang ternyata menghasilkan tim yang solid saat bercerita.

Yang saya pahami dari cara Takashi menangani sebuah genre horor adalah bagaimana horor buatannya tidak hanya tentang menjual kengerian atau jump-scare belaka. Ju On mengangkat cerita dendam yang berasal dari pembantaian sebuah keluarga menjadi cerita yang cukup menarik dan menjanjikan. Pada Rinne, Takashi membuat cerita audisi film yang diangkat dari pembunuhan nyata yang tidak hanya menjanjikan, namun juga terselip twist menjelang akhir cerita yang tidak disangka-sangka tentang apa peran protagonis sebenarnya. Buat saya sebuah film horor dengan instrumen cerita yang tidak hanya asal jadi adalah nilai plus tersendiri.

Scary moment : Ada adegan di film ini yang sangat memorable bahkan ketika saya mengingat film ini maka momen inilah yang pertama kali menghampiri ingatan saya. Pada opening film, beberapa orang menjadi ‘korban’ sebagai awal perkenalan apa yang dinamakan reinkarnasi. Seorang supir truk menembus jalanan malam hari yang dikelilingi hutan dan pepohonan lebat nan gelap. Ia merasa menabrak seseorang. Mobil pun berhenti. Ketika melihat ke bawah dan menemukan seseorang menatapnya tajam, ia kaget. Lebih kaget lagi ketika ia melongok jauh pada pepohonan dan hutan lebat. Bermacam-macam wajah memenuhi langit, menatap tajam ke arahnya.

 
Onibaba (Kaneto Shindo, 1964)

Saya menyebutnya horror seks atau erotisme dipadu suasana mencekam. Dan penting untuk menggarisbawahi Onibaba tak sekedar menjadi film horor seks namun mengandung banyak makna dan pemikiran bukan saja pada jaman perang yang gawat darurat seperti yang menjadi setting ceritanya, namun sebagai cerminan pada perilaku dan kehidupan manusia sampai dewasa ini.

Onibaba menceritakan tentang seorang mertua dan menantu yang terdesak jaman perang lalu menekuni profesi menjebak para samurai yang lewat lalu mempreteli pakaian dan barang-barang bawaan mereka untuk dijual. Suatu hari lelaki teman anak sang mertua kembali dengan kabar hanya dialah yang selamat sendirian. Kenyataan itu membawa masalah baru saat sang lelaki menggoda sang menantu sampai pada akhirnya sang menantu pun termakan rayuan sang lelaki. Setiap malam dengan diam-diam sang perempuan menemui sang lelaki di pondoknya, berhubungan seks sampai pelan-pelan akhirnya menjadi kebutuhan yang mencandu. Sang mertua yang akhirnya mengetahui hal tersebut mencoba menakut-nakuti mereka berdua dengan topeng bermuka setan.

Onibaba mempertanyakan tentang apa sebenarnya moral, dosa, dimana batas dan benarkah ada ganjarannya. Bahwa ketika ketakutan pada setan ataupun mitos neraka ada, kebutuhan manusia selalu tak akan pernah melepaskan nafsu dan egonya. Termasuk dalam film ini adalah tentang betapa seks adalah desakan manusiawi yang alamiah. Ini menghadirkan pertanyaan sekaligus pemikiran yang terus menggelayut seusai menontonnya.

Scary moment : Sebenarnya saya tak mengharapkan film ini punya momen seram yang mengagetkan, karena secara bangunan cerita terutama pada bagian konklusi sendiri memiliki kesimpulan yang menyeramkan. Namun adegan pertama kali munculnya Onibaba pada malam hari cukup mengagetkan, ditambah suasana creepy rerumputan lebat yang berisik.



Battle Royale (Kinji Fukasaku, 2000)

Battle Royale memang bukan tipikal film horor yang menjual hantu atau teror misterius, tapi idenya sendiri adalah sebuah horor yang rasanya amit-amit untuk kejadian di dunia nyata. Dalam dunia ciptaan Kinji Fukasaku ini desakan membunuh untuk bertahan bukan saja menciptakan tragedi atau ironi, namun juga membangun suasana mencekam dan menegangkan karena banyak cast-nya memiliki motif atau kepribadian yang kuat untuk didukung. 

Ketika satu tokoh mati karena kesalahpahaman atau diserang, penonton seperti menyaksikan sebuah pertandingan sepakbola atau video game, dimana ia merasa gemas, takut bercampur kesal. Perlu digarisbawahi juga bahwa Battle Royale tak hanya sebagai film survival yang asyik, tapi juga mengandung pemikiran dan makna tentang ketakutan orang dewasa pada generasi muda dimana kekerasan dianggap sebagai jalan satu-satunya ‘mendidik’ generasi tersebut. Dunia kacau balau ini seragam dengan Suicide Club, dan keduanya  sama-sama sebuah horor tersendiri.

Scary moment : Momen-momen seram pada Battle Royale bukan momen yang terlalu disturbing atau mengagetkan, meski diumbar muncratan darah dimana-mana. Momen membunuh di Battle Royale lebih bisa dibilang asyik, atau saya malah menyebutnya keren, seperti yang dilakukan tokoh Mitsuko Souma atau Chigusa yang memorable. Namun scary moment versi saya adalah ketika sekelompok gadis yang tinggal di menara saling bunuh-membunuh karena satu kesalahpahaman kecil. Agak seram saja rasanya ketika pada situasi genting, hilangnya nyawa bukan karena diserang oleh musuh namun karena ketidakpercayaan dan rasa saling curiga antar teman sendiri.


Hausu / House (Nobuhiko Kobayashi, 1977)

Susah untuk mendeskripsikan bagaimana pengalaman menonton Hausu. Kamu bisa menyebutnya seram atau malah menyebutnya konyol, lucu atau malah bodoh. Tapi Hausu adalah sebuah catatan penting untuk J-Horror dimana untuk menyampaikan adegan seram adalah dengan cara paling absurd dan aneh yang pernah ada. Sebenarnya, ide film ini didapat Nobuhiko Kobayashi dari Chigumi, anaknya sendiri yang baru beranjak remaja. 

Chigumi menjabarkan apa saja ketakutannya di masa kecil : rasa parno pada jam dinding besar di rumah tua, takut jari terjepit piano atau takut monster menyerangnya. Ide-ide inilah yang kemudian mempengaruhi keseluruhan filmnya menjadi terasa fantasi dan anak-anak sekali. Namun secara pribadi, menonton Hausu seperti menjelajah alam mimpi yang abstrak dan penuh hal-hal tidak masuk akal. Mungkin karena saya suka film-film horor klasik ala Suzanna sejak kecil, jadi gambaran tentang nenek tua di rumah kosong, kepala terbang atau baju putih dari kejauhan yang tertiup angin sambil diiringi denting piano menurut saya adalah sebuah manifestasi ide seram yang sempurna.

Scary moment : Banyak momen-momen aneh di film ini yang sangat menarik dan mungkin saat menyaksikannya kamu akan bilang itu konyol atau malah jenaka untuk bisa disebut seram. Ada adegan ketika Melody bermain piano dan secara tidak sadar kehilangan jarinya sampai akhirnya seluruh tubuhnya ditelan piano. Bagian tubuhnya terpotong-potong dan loncat kemana-mana. Ini adalah salah satu (dari banyaknya) adegan creepy yang sangat tidak rasional. Sangat menggelikan sekaligus membuat dahi mengernyit saking anehnya.


Honorable mentions : Noroi the Curse, Ju On : The Grudge, Ugetsu
 (Catatan p: gambar sebagai petunjuk film aja, tadinya aku mau naruh adegan scary moment-nya tapi mikir lagi takut bakal jadi spoiler buat yang belum nonton).










Ketika J-Horror identik dengan rambut panjang rebonding dan jalan merangkak, penonton sejenak lupa bahwa kata ‘horror’ dan ‘menyeramkan’ juga bisa digali dari beberapa film yang tak hanya secara sentral menjual cerita rumah berhantu atau teror wanita berbaju putih. Ketika sebuah film menjabarkan drama berdarah-darah dengan eksekusi hitam, kata ‘menyeramkan’ juga pantas disematkan. Tentu untuk menulis 7 best scary moment sebenarnya adalah pekerjaan yang sulit karena masih banyak film-film Jepang yang belum saya tonton, namun marilah saya bagi apa saja 7 momen paling menyeramkan untuk kategori J-Horror menurut hemat saya. Sebagai catatan kecil, urutan tidak menentukan ukuran menyeramkan momen film tersebut. - See more at: http://www.sigilahoror.com/2014/11/13/j-horror-best-scary-moments/#sthash.WyE1LJQ0.dpuf
Ketika J-Horror identik dengan rambut panjang rebonding dan jalan merangkak, penonton sejenak lupa bahwa kata ‘horror’ dan ‘menyeramkan’ juga bisa digali dari beberapa film yang tak hanya secara sentral menjual cerita rumah berhantu atau teror wanita berbaju putih. Ketika sebuah film menjabarkan drama berdarah-darah dengan eksekusi hitam, kata ‘menyeramkan’ juga pantas disematkan. Tentu untuk menulis 7 best scary moment sebenarnya adalah pekerjaan yang sulit karena masih banyak film-film Jepang yang belum saya tonton, namun marilah saya bagi apa saja 7 momen paling menyeramkan untuk kategori J-Horror menurut hemat saya. Sebagai catatan kecil, urutan tidak menentukan ukuran menyeramkan momen film tersebut. - See more at: http://www.sigilahoror.com/2014/11/13/j-horror-best-scary-moments/#sthash.WyE1LJQ0.dpuf
Share on Google Plus

About Moviners

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

MOVIN SHORT MOVIES

MOVIN UPCOMING